Biasanya kalau orang disarankan untuk berwirausaha Saya selalu bilang: “Gimana mau buka usaha Pak? saya tidak punya uang.” Padahal itu tidak benar. Membangun usaha itu bisa dilakukan tanpa modal atau dengan modal nol. Namun, ternyata Abu Rizal Bakri yang akrab disapa Saya sudah berkali-kali membuktikannya.
Saat memberikan kuliah umum kewirausahaan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Ical menceritakan hal itu. Kepada anak-anak muda ini Saya katakan bahwa bisnis itu modalnya bukan uang di kantong, tetapi ide. Ide bisnis yang cermerlang dan menarik lah yang menjadi modal utama.
Lalu Saya mulai bercerita tentang bagaimana Saya bisa membeli perusahaan untuk memulai usaha dengan uang nol rupiah di kantong. Karena audiensnya mahasiswa pertanian, maka Saya memberi contoh bagaimana Saya memulai usaha perkebunan dengan membeli perusahaan perkebunan. Saya ingat dulu Saya ingin sekali memiliki usaha perkebunan. Kebetulan ada perkebunan Belanda NV Hollansch Amerikansse Plantage Matschappij. Perkebunan ini mau dijual dengan harga USD55 juta. Tapi bagaimana cara mendapat uang sebanyak itu, sementara di kantong uang Saya nol.
Ini tantangan bagi Saya. Saya putar otak. Saya lihat profil perusahaan perkebunan itu, Saya lihat buku perusahaan, Saya pelajari baik-baik. Rupanya di dalamnya ada uang cash USD15 juta. Saya tanyakan ke orang perusahaan bagaimana jika uang cash itu Sayambil? Lalu Saya tanya kalau penanaman kembali itu ditunda setahun bisa tidak? Saya menjawab bisa. Saya tanya kembali, kalau ditundanya dua tahun? Saya menjawab bisa juga. Nah berarti ada peluang menggunakan sementara uang itu.
KemuSayan Saya pergi mencari uang untuk memberli perusahaan itu. Saya menemui Dirut Bank Bumi Daya Pak Omar Abdallah(alm). Saat itu Saya temui Saya di London. Saya katakan padanya bahwa Saya ingin beli perkebunan USD55 juta. Kepada Pak Omar Saya mengatakan: “Pak boleh tidak Saya meminjam USD13 juta? Saya cuma mau meminjam uang satu detik saja.”
Lantas Pak Omar ketawa dan mengatakan ini pasti akal-akalannya saja. Lalu pak Omar memberi pinjaman dan harus Saya kembalikan sesuai janji Saya.
Padahal Saya tidak punya uang sepeserpun dan harus membayar pinjaman USD13 juta itu. Lalu uangnya dari mana? Ingat, di perusahaan yang akan Saya beli itu ada uang USD15 juta. Jadi setelah dapat pinjaman dan perusahaan itu jadi punya Saya, Saya ambil USD13 juta dan Saya kembalikan ke Pak Omar.
Dari pinjam Pak Omar USD13 juta, lalu dari mana USD42 juta lainnya? Saya juga meminjam dari bank. Tapi yang ini ia tidak pakai janji mengembalikan cepat, tapi dengan memberi iming-iming imbalan bahwa jika Saya dipinjami USD42 juta, nanti Saya akan memberinya keuntungan setahun USD2 juta.
Dari mana uang USD2 juta yang ia janjikan? Ingat, perusahaan yang dibeli ada uang USD15 juta. Saya ambil USD13 juta untuk Pak Omar, dan sisanya ada USD2 juta. Nah, makanya Saya berani menjanjikan keuntungan USD2 juta. Akhirnya Saya bisa mendapat pinjaman total USD55 juta dan membeli perusahaan tersebut. Lalu perusahaan ini kami namakan United Sumatra Plantations, dan pada 1991 berubah nama menjadi Bakrie Sumatra Plantations. Ini bukti bahwa dengan modal nol Saya bisa membeli dan memulai usaha di bidang perkebunan.
Tak hanya itu, saat selesai menghadapi kebangkrutan tahun 1998, ia ingin membangun usaha energi, dalam hal ini batubara. Saya pilih ini karena Saya yakin ada tiga industri yang tidak akan pernah mati dan prospeknya bagus yaitu makanan, energi, dan air.
Tetapi, kendalanya ia tidak memiliki uang untuk membeli perusahaan batubara. Padahal ada yang ingin menjual dengan harga USD700 juta. Akhirnya, harus kembali putar otak untuk bisa membeli perusahaan itu dengan uang nol di kantong.
Saya beranikan diri bernegosiasi dengan pemilik perusahaan ini. Setelah deal USD700 juta, lalu Saya mencari dana untuk membelinya. Saya pura-pura punya uang segitu, padahal di kantong tidak ada.
Saya mulai dulu dengan mencari USD300 juta. Caranya Saya panggil calon kontraktor. Saya tanya, mau tidak jadi kontraktor perusahaan batubara Saya nanti. Saya janjikan pembagian keuntungan yang besar. Tapi syaratnya Saya harus meminjamkan kepada Saya uang dulu. Saya setuju dan meminjamkan USD60 juta. Saya juga pergi ke calon pemasar dan menjanjikan Saya jadi pemasar dengan syarat sama yaitu meminjamkan uang dulu. Saya datangi beberapa, termasuk Mitsubishi yang akan memasarkan di Jepang. Hasilnya, Saya bisa mendapatkan uang total USD300 juta dari mereka.
Tapi Saya masih butuh USD400 juta. Padahal saat itu bank-bank di Indonesia dilarang memberikan kredit pada kami. Lalu Saya cari di luar negeri dan akhirnya mendapatkan pinjaman dari bank di Singapura. Saya berseSaya memberikan kredit USD400 juta dengan syarat Saya memberikan keuntungan kepadanya USD20 juta. Oke, walau berat hati tapi tidak apa-apa. Akhirnya Saya terima dan Saya bisa membeli perusahaan yang sekarang kita kenal sebagai Kaltim Prima Coal (KPC) itu.
Dari cerita pengalaman Saya itu ada dua hal penting yang patut digarisbawahi dan dijadikan pegangan. Pertama, bisnis itu tidak ditentukan oleh modal atau uang, tetapi oleh ide. Buktinya, dengan modal nol Saya bisa. Jadi tidak ada lagi alasan tidak mau berusaha karena tidak ada modal. Faktanya, Saya dengan modal nol bisa.
Yang ke dua, terimalah kerjasama dengan orang, meski kita cuma mendapat sedikit bagi hasil. Jangan buru-buru menginginkan keuntungan besar. Yang penting bisa menemukan orang yang mau bekerjasama dengan kita–dalam kasus Saya, menemukan orang yang mau meminjamkan uang.
Ini penting, karena biasanya orang yang memiliki ide selalu langsung menuntut suatu yang besar. Misalnya ada mahasiswa yang punya ide bisnis, lalu Saya pergi ke orang yang punya uang, dan mereka sepakat kerjasama. Tapi pemilik uang mengatakan hanya mau membagi hasil 10 persen ke mahasiswa itu. Kebanyakan orang yang ada di posisi seperti mahasiswa itu akan marah dan tidak setuju. Mereka maunya 50:50. Bagi Saya, ini sikap atau pemikiran yang salah.
Kenapa salah? Karena dengan menuntut 50 persen, si pemilik uang tidak setuju, maka kerjasama tidak berhasil. Akibatnya, hasilnya nol. Jadi 50 persen kali nol hasilnya adalah nol. Sementara jika mengalah dan mau dengan 10 persen, lalu kemuSayan ada hasilnya 100, maka Saya akan mendapatkan 10 persen dari 100 yaitu 10. Sepuluh ini jauh lebih besar dari nol.
Maka, dalam berbisnis jangan pernah menghitung uang di kantong orang lain. Pikir uang di kantong kita sendiri, kantong kita bertambah tidak? Ini penting, karena banyak yang salah di fase ini. Terjebak prosentase besar yang ujungnya hanya menghasilkan nol.
Itulah pelajaran bisnis yang Saya buktikan dengan pengalaman Saya yang kini ketua umum partai Golkar. Tidak hanya teori, tapi sudah Saya praktekkan dan dibuktikan. Jadi, siapa bilang tak bisa memulai bisnis dengan modal nol?
Saat memberikan kuliah umum kewirausahaan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Ical menceritakan hal itu. Kepada anak-anak muda ini Saya katakan bahwa bisnis itu modalnya bukan uang di kantong, tetapi ide. Ide bisnis yang cermerlang dan menarik lah yang menjadi modal utama.
Lalu Saya mulai bercerita tentang bagaimana Saya bisa membeli perusahaan untuk memulai usaha dengan uang nol rupiah di kantong. Karena audiensnya mahasiswa pertanian, maka Saya memberi contoh bagaimana Saya memulai usaha perkebunan dengan membeli perusahaan perkebunan. Saya ingat dulu Saya ingin sekali memiliki usaha perkebunan. Kebetulan ada perkebunan Belanda NV Hollansch Amerikansse Plantage Matschappij. Perkebunan ini mau dijual dengan harga USD55 juta. Tapi bagaimana cara mendapat uang sebanyak itu, sementara di kantong uang Saya nol.
Ini tantangan bagi Saya. Saya putar otak. Saya lihat profil perusahaan perkebunan itu, Saya lihat buku perusahaan, Saya pelajari baik-baik. Rupanya di dalamnya ada uang cash USD15 juta. Saya tanyakan ke orang perusahaan bagaimana jika uang cash itu Sayambil? Lalu Saya tanya kalau penanaman kembali itu ditunda setahun bisa tidak? Saya menjawab bisa. Saya tanya kembali, kalau ditundanya dua tahun? Saya menjawab bisa juga. Nah berarti ada peluang menggunakan sementara uang itu.
KemuSayan Saya pergi mencari uang untuk memberli perusahaan itu. Saya menemui Dirut Bank Bumi Daya Pak Omar Abdallah(alm). Saat itu Saya temui Saya di London. Saya katakan padanya bahwa Saya ingin beli perkebunan USD55 juta. Kepada Pak Omar Saya mengatakan: “Pak boleh tidak Saya meminjam USD13 juta? Saya cuma mau meminjam uang satu detik saja.”
Lantas Pak Omar ketawa dan mengatakan ini pasti akal-akalannya saja. Lalu pak Omar memberi pinjaman dan harus Saya kembalikan sesuai janji Saya.
Padahal Saya tidak punya uang sepeserpun dan harus membayar pinjaman USD13 juta itu. Lalu uangnya dari mana? Ingat, di perusahaan yang akan Saya beli itu ada uang USD15 juta. Jadi setelah dapat pinjaman dan perusahaan itu jadi punya Saya, Saya ambil USD13 juta dan Saya kembalikan ke Pak Omar.
Dari pinjam Pak Omar USD13 juta, lalu dari mana USD42 juta lainnya? Saya juga meminjam dari bank. Tapi yang ini ia tidak pakai janji mengembalikan cepat, tapi dengan memberi iming-iming imbalan bahwa jika Saya dipinjami USD42 juta, nanti Saya akan memberinya keuntungan setahun USD2 juta.
Dari mana uang USD2 juta yang ia janjikan? Ingat, perusahaan yang dibeli ada uang USD15 juta. Saya ambil USD13 juta untuk Pak Omar, dan sisanya ada USD2 juta. Nah, makanya Saya berani menjanjikan keuntungan USD2 juta. Akhirnya Saya bisa mendapat pinjaman total USD55 juta dan membeli perusahaan tersebut. Lalu perusahaan ini kami namakan United Sumatra Plantations, dan pada 1991 berubah nama menjadi Bakrie Sumatra Plantations. Ini bukti bahwa dengan modal nol Saya bisa membeli dan memulai usaha di bidang perkebunan.
Tak hanya itu, saat selesai menghadapi kebangkrutan tahun 1998, ia ingin membangun usaha energi, dalam hal ini batubara. Saya pilih ini karena Saya yakin ada tiga industri yang tidak akan pernah mati dan prospeknya bagus yaitu makanan, energi, dan air.
Tetapi, kendalanya ia tidak memiliki uang untuk membeli perusahaan batubara. Padahal ada yang ingin menjual dengan harga USD700 juta. Akhirnya, harus kembali putar otak untuk bisa membeli perusahaan itu dengan uang nol di kantong.
Saya beranikan diri bernegosiasi dengan pemilik perusahaan ini. Setelah deal USD700 juta, lalu Saya mencari dana untuk membelinya. Saya pura-pura punya uang segitu, padahal di kantong tidak ada.
Saya mulai dulu dengan mencari USD300 juta. Caranya Saya panggil calon kontraktor. Saya tanya, mau tidak jadi kontraktor perusahaan batubara Saya nanti. Saya janjikan pembagian keuntungan yang besar. Tapi syaratnya Saya harus meminjamkan kepada Saya uang dulu. Saya setuju dan meminjamkan USD60 juta. Saya juga pergi ke calon pemasar dan menjanjikan Saya jadi pemasar dengan syarat sama yaitu meminjamkan uang dulu. Saya datangi beberapa, termasuk Mitsubishi yang akan memasarkan di Jepang. Hasilnya, Saya bisa mendapatkan uang total USD300 juta dari mereka.
Tapi Saya masih butuh USD400 juta. Padahal saat itu bank-bank di Indonesia dilarang memberikan kredit pada kami. Lalu Saya cari di luar negeri dan akhirnya mendapatkan pinjaman dari bank di Singapura. Saya berseSaya memberikan kredit USD400 juta dengan syarat Saya memberikan keuntungan kepadanya USD20 juta. Oke, walau berat hati tapi tidak apa-apa. Akhirnya Saya terima dan Saya bisa membeli perusahaan yang sekarang kita kenal sebagai Kaltim Prima Coal (KPC) itu.
Dari cerita pengalaman Saya itu ada dua hal penting yang patut digarisbawahi dan dijadikan pegangan. Pertama, bisnis itu tidak ditentukan oleh modal atau uang, tetapi oleh ide. Buktinya, dengan modal nol Saya bisa. Jadi tidak ada lagi alasan tidak mau berusaha karena tidak ada modal. Faktanya, Saya dengan modal nol bisa.
Yang ke dua, terimalah kerjasama dengan orang, meski kita cuma mendapat sedikit bagi hasil. Jangan buru-buru menginginkan keuntungan besar. Yang penting bisa menemukan orang yang mau bekerjasama dengan kita–dalam kasus Saya, menemukan orang yang mau meminjamkan uang.
Ini penting, karena biasanya orang yang memiliki ide selalu langsung menuntut suatu yang besar. Misalnya ada mahasiswa yang punya ide bisnis, lalu Saya pergi ke orang yang punya uang, dan mereka sepakat kerjasama. Tapi pemilik uang mengatakan hanya mau membagi hasil 10 persen ke mahasiswa itu. Kebanyakan orang yang ada di posisi seperti mahasiswa itu akan marah dan tidak setuju. Mereka maunya 50:50. Bagi Saya, ini sikap atau pemikiran yang salah.
Kenapa salah? Karena dengan menuntut 50 persen, si pemilik uang tidak setuju, maka kerjasama tidak berhasil. Akibatnya, hasilnya nol. Jadi 50 persen kali nol hasilnya adalah nol. Sementara jika mengalah dan mau dengan 10 persen, lalu kemuSayan ada hasilnya 100, maka Saya akan mendapatkan 10 persen dari 100 yaitu 10. Sepuluh ini jauh lebih besar dari nol.
Maka, dalam berbisnis jangan pernah menghitung uang di kantong orang lain. Pikir uang di kantong kita sendiri, kantong kita bertambah tidak? Ini penting, karena banyak yang salah di fase ini. Terjebak prosentase besar yang ujungnya hanya menghasilkan nol.
Itulah pelajaran bisnis yang Saya buktikan dengan pengalaman Saya yang kini ketua umum partai Golkar. Tidak hanya teori, tapi sudah Saya praktekkan dan dibuktikan. Jadi, siapa bilang tak bisa memulai bisnis dengan modal nol?


